PENDAHULUAN
Latar belakang
Hutan adalah salah satu kekayaan bumi Indonesia yang tidak ternilai dan merupakan sebuah ekosistem dengan kandungan kekayaan alam yang sangat potensial. Tetapi, selalu ada sebuah komitmen dalam usaha pendayagunaan hutan sebagai aset alam. Yaitu komitmen yang tertuang dalam konsep asas manfaat dan lestari. Ini berarti, kegiatan pemanfaatan hutan harus diimbangi dengan upaya pelestariannya. Pemanfaatan hutan tidak boleh melanggar kelestarian lingkungan hutan yang terus dijaga dan dipelihara. Untuk keperluan tersebut, perlu kiranya diketahui potensi yang ada pada hutan tersebut. Salah satu pendekatannya yaitu dengan mengetahui besarnya biomassa pohon yang merupakan salah satu komponen penting dalam hutan (Ewusie, 1990).
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (MacNae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut, sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk jenis pohon-pohon atau semak belukar yang tumbuh diantara pasang surut air laut, dan kata mangal digunakan bila berhubungan dengan komunitas hutan. Richards (1975) menggunakan kata mangrove untuk kelompok ekologi jenis tumbuhan yang mendiami lahan pasang surut dan untuk komunitas tumbuhan yang terdiri atas jenis tersebut. FAO (1982) merekomendasikan kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau. Selain itu, oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya dengan rumpun bahasa Melayu, hutan magrove sering disebut dengan hutan bakau. Namun demikian, penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Dengan demikian, penggunaan istilah hutan mangrove hanya tepat manakala hutan tersebut hanya disusun oleh jenis-jenis dari marga Rhizophora, sedangkan apabila hutan tersebut juga disusun bersamaan dengan jenis dari marga yang lain, maka istilah tersebut tidak tepat lagi untuk digunakan (Onrizal, 2008).
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur hutan mangrove.
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang unik dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun hutan yang merupakan sumberdaya alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara besar-besaran untuk lahan pertambangan, pemukiman, perindustrian, pertanian, perkebunan, peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun. Dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan (Irwan,1992).
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran tadi --yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi (Anonimous, 2008).
Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua jenis metode dengan petak dan tanpa petak ukur. Salah satu metode dengan petak yang banyak digunakan adalah kombinasi antara metode jalur dengan metode garis berpetak. Pada kegiatan-kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan seperti halnya pada bodang ilmu yang lainyang bersangkutan paut oleh sumberdaya alamdikenal dua jenis pengukuran untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Pengukuran tersebut dapat berupa pengambilan contoh (metode sampling) dan metode sensus (Latifah, 2005).
Pengukuran dan pengambilan contoh tumbuhan atau analisis vegetasi secara garis besar dapat di bagi atas dua metode, yaitu metode petak contoh dan metode tanpa petak.pada metode petak contoh pengukuran peubah dasar dilakukan dengan cara penafsiran berdasarkan petak contoh. Bila habitatnya berupa suatu daerah yang luas maka diambillah seluas tertentu dari daerah itu dan dari daerah contoh itu dihitungkah tumbuhan yang diteliti. Kesalahan analisis berdasarkan petak contoh tergantung pada tiga hal :
1. Populasi dalam tiap petak contoh yang diambil harus dapat dihitung dengan tepat.
2. Luas atau satuan tiap petak harus jelas dan pasti.
3. petak contoh yang diambil harus dapat mewakili seluruh daerah.
Metode jalur berpetak merupakan modifikasi dari metode jalur dan petak ganda. Bila dibandingkan dengan metode jalur/transek, maka terlihat bahwa pada metode garis berpetak ada lompatan-lompatan, dapat melompat satu petak atau lebih dalam jalur yang dibuat. Pada metode ini juga dibuat jalur dan pada jalur itu dibuat petak (Suin, 2002).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Adapun waktu dilaksanakannya praktikum Ekologi Hutan ini dilaksanakan pada hari Minggu, pada tanggal 29 September 2009 sampai selesai, yang berlokasi di Pulau Sembilan Kabupaten Langkat Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1. Ekosistem hutan mangrove yang tidak terganggu dengan yang terganggu.
2. Peta lokasi, peta kerja dan/atau peta penutupan lahan (peta penafsiran vegetasi).
3. Tali plastik (100 m per regu)
4. Patok dengan tinggi 1 meter, dimana ujung bawah runcing dan ujung atas
sepanjang 30 cm di cat merah atau putih.
5. Kompas
6. walking stick
7. Diameter-tape atau pita meter 100 cm
8. Meteran 10 m atau 20 m
9. Perlengkapan herbarium untuk metoda basah
10. Tally sheet dan alat tulis-menulis
Prosedur Kerja
1. Pembuatan regu kerja, setiap regu beranggotakan 6 – 10 orang
2. Menentukan lokasi jalur (unit contoh) di atas peta, panjang masing-masing jalur ditentukan berdasarkan lebar hutan (dalam praktikum ini panjang jalur sebesar 100 m per regu). Jalur dibuat dengan arah tegak lurus kontur.
3. Membuat unit contoh jalur dengan desain yang telah ada.
4. Mengidentifikasi jenis dan jumlah individu untuk semai dan pancang. Sedangkan untuk tiang dan pohon, selain dihitung jumlahnya juga diukur diameternya (diameter setinggi dada) dan tingginya (tinggi total dan tinggi bebas cabang). Data hasil pengukuran lapangan tersebut dicatat pada tally sheet. Dalam praktikum ini digunakan kriteria pertumbuhan sebagai berikut:
a. Semai : anakan pohon mulai kecambah sampai setinggi < 1,5 m
b. Pancang : anakan pohon yang tingginya ≥ 1,5 m sampai diameter < 5 cm
c. Pohon : pohon dewasa berdiameter ≥ 5 cm
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan formulasi metoda dengan petak untuk menghitung besarnya kerapatan (ind/ha), frekwensi, dominsi (m2/ha), indek nilai penting dari masing-masing jenis dan indeks shanon-wiener.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan analisis vegetasi di hutan mangrove yang telah dilakukan dalam kegiatan fieltrip ekologi dilaksanakan dengan menggunakan metode kombinasi yang terdiri dari metode jalur garis berpetak untuk analisis vegetasi. Pada kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove yang tidak terganggu di Pulau Sembilan ditemukan 3 jenis spesies tingkat semai dengan jumlah seluruh individu 210 individu, 3 jenis spesies tingkat pancang dengan jumlah seluruh individu adalah 93 individu , 3 jenis spesies tingkat pohon dengan jumlah seluruh individu adalah 16 individu.
Untuk mengetahui komposisi jenis hutan mangrove, kegiatan analisis vegetasi dilakukan dengan menghitung indeks nilai penting. Pada tingkat semai dan pancang di hutan mangrove, INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif sedangkan pada tingkat pohon, INP merupakan hasil penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominasi relatif. Berikut adalah analisis data pada kegiatan analisis vegetasi pada hutan mangrove yang tidak terganggu pada tingkatan semai.
Tabel 1. Analisis data pada tingkat semai
Nama Lokal Nama Latin Ʃ Ind Ʃ Plot ditemukan K (ind/ha) KR (%) F FR (%) INP H’
Bakau Rhizophora apiculata 112 5 28000 53,3 0,5 45,5 98,8
Mata buaya Brugueira sexangula 51 5 12750 24,3 0,5 45,5 69,7 1,0
Tengar Ceriops tagal 47 1 11750 22,4 0,1 9,0 31,5
Total 210 52500 1,1
Berdasarkan hasil analisa data pada tabel 1, terlihat dengan jelas bahwa pada tingkat semai didapat INP yang paling tinggi adalah pada jenis Bakau (Rhizophora apiculata) yaitu 98,8 % sedangkan INP yang terkecil adalah pada jenis Tengar (Ceriops tagal) yaitu 31,5. Dari data tersebut dapat diketahui komposisi jenis pada tingkat semai yang mendominasi adalah jenis Bakau (Rhizophora apiculata) tetapi jenis bakau ini tidak mendominasi sekali karena kurang dari 100 % , ini disebabkan karena kerapatan relatif dan frekuensi relatifnya rendah sehingga INP pada tingkat semai menjadi rendah. Hal ini telah dikemukakan oleh Simon (2007) yang menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting sangat dipengaruhi oleh penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif.
Pada analisis data diatas di peroleh Indeks Shannon-wiener di hutan mangrove yang tidak terganggu pada tingkatan semai adalah 1,01, yang berarti hutan mangrove tersebut keanekaragamannya tergolong rendah karena masih diantara 0-2, hal ini telah dinyatakan oleh Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa Indek Shanon-Wiener yang terdapat pada 0-2 tergolong rendah, 2-3 tergolong sedang, ≥ 3 tergolong tinggi.
Analisis data pada tingkat pancang di hutan mangrove yang tidak terganggu menunjukkan bahwa bakau merah (Rhizophora apiculata) yang mendominasi pertumbuhannya dengan jumlah seluruh individu adalah 65 individu sedangkan yang paling sedikit adalah mata buaya (Brugueira sexangula) dengan jumlah seluruh individu adalah 10 individu. Berikut adalah analisis data pada tingkat pancang di hutan mangrove yang tidak terganggu.
Tabel 2. Analisis data pada tingkat pancang
Nama Lokal Nama Latin Ʃ Ind Ʃ Plot ditemukan K (ind/ha) KR (%) F FR (%) INP H’
Bakau Rhizophora apiculata 65 6 2600 69,9 0,6 60 130 0,8
Mata buaya Brugueira sexangula 10 2 400 10,8 0,2 20 31
Tengar Ceriops tagal 18 2 720 19,3 0,2 20 39
Total 93 10 3720 100 1 100 200
Berdasarkan hasil analisa data pada tabel 2, terlihat dengan jelas bahwa pada tingkat pancang didapat INP yang paling tinggi adalah pada jenis Bakau (Rhizophora apiculata) yaitu 130 % sedangkan INP yang terkecil adalah pada jenis Mata buaya (Brugueira sexangula) yaitu 31 %. Dari data tersebut dapat diketahui komposisi jenis pada tingkat pancang yang mendominasi adalah jenis Bakau (Rhizophora apiculata) karena lebih dari 100 % , ini disebabkan karena kerapatan relatif dan frekuensi relatifnya tinggi sehingga INP pada tingkat pancang menjadi rendah. Hal ini telah dikemukakan oleh Simon (2007) yang menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting sangat dipengaruhi oleh penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif.
Pada analisis data diatas di peroleh Indeks Shannon-wiener di hutan mangrove yang tidak terganggu pada tingkatan pancang adalah 0,8 , yang berarti hutan mangrove tersebut keanekaragamannya tergolong rendah karena masih diantara 0-2, hal ini telah dinyatakan oleh Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa Indek Shanon-Wiener yang terdapat pada 0-2 tergolong rendah, 2-3 tergolong sedang, ≥ 3 tergolong tinggi.
Analisis data pada tingkat pohon di hutan mangrove yang tidak terganggu menunjukkan bahwa bakau merah (Rhizophora apiculata) mendominasi yang telah ada dengan jumlah seluruh individu adalah 8 individu sedangkan yang paling sedikit adalah pedada (Sonneratia alba) dengan jumlah seluruh individu adalah 2 individu. Berikut adalah analisis data pada tingkat pohon di hutan mangrove yang tidak terganggu.
Tabel 3. Analisis data pada tingkat pohon
Nama Lokal Nama Latin Ʃ Ind Ʃ Plot ditemukan K (ind/ha) KR (%) F FR (%) D DR INP H’
Bakau Rhizophora apiculata 8 1 800 50 0,14 14,2 0,4 38,05 102,2 0,97
Pedada Sonneratia alba 6 4 600 37,5 0,57 57,1 0,3 29,46 124,2
Tengar Ceriops tagal 2 2 200 12,3 0,29 28,6 0.4 32,47 73,5
Total 16 7 1600 1 100 1,1
Berdasarkan hasil analisa data pada tabel 3, terlihat bahwa pada tingkat pohon didapat INP yang paling tinggi adalah pada jenis Pedada (Sonneratia alba ) yaitu 124,2 % sedangkan INP yang terkecil adalah pada jenis Tengar (Ceriops tagal) yaitu 73,5 %. Dari data tersebut dapat diketahui komposisi jenis pada tingkat pohon yang mendominasi adalah jenis Pedada (Sonneratia alba) jenis Bakau (Rhizophora apiculata ) yaitu 102,2 tetapi kurang banyak terdapat di kawasan tersebut karena INP kurang dari 150 % , ini disebabkan karena kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansinya tiadak tinggi sehingga INP pada tingkat pohon menjadi rendah. Hal ini telah dikemukakan oleh Simon (2007) yang menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting sangat dipengaruhi oleh penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif.
Pada analisis data diatas di peroleh Indeks Shannon-wiener di hutan mangrove yang tidak terganggu pada tingkatan semai adalah 0,97 , yang berarti hutan mangrove tersebut keanekaragamannya tergolong rendah karena masih diantara 0-2, hal ini telah dinyatakan oleh Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa Indek Shanon-Wiener yang terdapat pada 0-2 tergolong rendah, 2-3 tergolong sedang, ≥ 3 tergolong tinggi.
Didasarkan rasa ingin tahu untuk dapat membedakan komposisi danstruktur hutan mangrove maka dilakukan pengamatan pada ekosistem mangrove yang terganggu. Pada kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove yang terganggu ditemukan 1 jenis spesies tingkat semai dengan jumlah seluruh individu 5 individu, 3 jenis spesies tingkat pancang dengan jumlah seluruh individu adalah 9 individu , pada tingkat pohon tidak terdapat pohon mangrove karena tidak memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Berikut adalah analisis data pada tingkat semai di hutan mangrove yang terganggu.
Tabel 4. Analisis data pada tingkat semai hutan terganggu
Nama Lokal Nama Latin Ʃ Ind Ʃ Plot ditemukan K (ind/ha) KR (%) F FR (%) INP H’
Bakau Rhizophora mucronata 5 1 1250 100 0,1 100 200 0
Total 5 1250 100 0,1 100
Berdasarkan analisa data yang telah ada didapat bahwa pada tingkat semai hanya satu jenis yang ada yaitu jenis Bakau (Rhizophora mucronata) dan dapat dipastikan bahwa lahan tersebut hampir kebanyakan yang kosong akibat ulah manusia seperti diadakannya tambak dan akhirnya tambak tersebut ditinggalkan pemiliknya karena produktifitas tambak tersebut menurun dan lahan tersebut terbengkalai, ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar pantai dan masyarakat pulau sembilan.
Analisis data pada tingkat pancang di hutan mangrove yang terganggu menunjukkan bahwa jenis nyirih (Xylocarpus maoccensis) yang mendominasi pertumbuhannya dengan jumlah seluruh individu adalah 7 individu sedangkan yang paling sedikit adalah Tengar (Ceriops tagal) dengan jumlah seluruh individu adalah 1 individu. Berikut adalah analisis data pada tingkat pancang di hutan mangrove yang tidak terganggu.
Tabel 5. Analisis data pada tingkat pancang di hutan terganggu
Nama Lokal Nama Latin Ʃ Ind Ʃ Plot ditemukan K (ind/ha) KR (%) F FR (%) INP H’
Tengar Ceriops decandra 1 1 40 11,1 0,1 33,3 44,4 0,6
nyirih Xylocarpus maoccens 7 1 280 77,8 0,1 33,3 44,4
Tengar Ceriops tagal 1 1 40 11,1 0,1 33,3 44,4
Total 8 360 0,3
Berdasarkan hasil analisa data pada tabel 5, terlihat bahwa pada tingkat pancang didapat INP sama yaitu 44,4. Dari data tersebut dapat diketahui komposisi jenis pada tingkat pancang yang mendominasi adalah jenis Bakau (Rhizophora apiculata), nyirih (Xylocarpus maoccens), dan Tengar (Ceriops tagal ) pada data tersebut dapat disimpulkan bahwa INP nya rendah karenadibawah 100 %, ini disebabkan karena kerapatan relatif dan frekuensi relatifnya rendah sehingga INP pada tingkat pancang menjadi rendah. Hal ini telah dikemukakan oleh Simon (2007) yang menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting sangat dipengaruhi oleh penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif.
Pada analisis data diatas di peroleh Indeks Shannon-wiener di hutan mangrove yang terganggu pada tingkatan pancang adalah 0,6 , yang berarti hutan mangrove tersebut keanekaragamannya tergolong rendah karena masih diantara 0-2, hal ini telah dinyatakan oleh Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa Indek Shanon-Wiener yang terdapat pada 0-2 tergolong rendah, 2-3 tergolong sedang, ≥ 3 tergolong tinggi.
Agar dapat membedakan dengan jelas bagaimana perbedaan hutan mangrove yang tidak terganggu dan yang terganggu, berikut adalah grafik hubungan jumlah individu pada tingkat semai, pancang, dan pohon pada masing-masing hutan sebagai berikut :
Grafik 1. Hubungan jumlah individu
Dari grafik diatas dapat terlihat dengan jelas perbedaan antara kedua hutan yang terganggu dan tidak terganggu bahwa hutan yang tidak terganggu mempunyai jumlah individu yang jauh lebih banyak daripada yang terganggu. Untuk mengetahui komposisi jenis hutan mangrove, kegiatan analisis vegetasi dilakukan dengan menghitung indeks nilai penting dan Indeks Shanon-Wiener dapat memperlihatkan keanekaragaman. Kita akan melihat grafik hubungan Indeks Shanon-Wiener pada semai, pancang, pohon pada kedua hutan. Berikut ini adalah grafik hubungan Indeks Shanon-Wiener yaitu :
Grafik 2. Hubungan Inddeks Shanon-Wiener pada kedua keadaan hutan
Berdasarkan grafik yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman jenis di hutan mangrove yang baik lebih banyak daripada di hutan rusak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis vegetasi di hutan mangrove Pulau Sembilan yaitu sebagai berikut :
1. Pada kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove yang tidak terganggu di Pulau Sembilan ditemukan 3 jenis spesies tingkat semai dengan jumlah seluruh individu 210 individu, 3 jenis spesies tingkat pancang dengan jumlah seluruh individu adalah 93 individu , 3 jenis spesies tingkat pohon dengan jumlah seluruh individu adalah 16 individu.
2. Pada kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove yang terganggu ditemukan 1 jenis spesies tingkat semai dengan jumlah seluruh individu 5 individu, 3 jenis spesies tingkat pancang dengan jumlah seluruh individu adalah 9 individu , pada tingkat pohon tidak terdapat pohon mangrove karena tidak memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
3. Indeks Shanon-Wiener yang paling tinggi adalah pada tingkat semai di hutan mangrove yang tidak terganggu adalah 1,01 sedangkan yang paling kecil pada tingkat semai di hutan mangrove yang terganggu adalah 0. hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat keanekaragamannya tergolong rendah.
4. Jenis bakau (Rhizophora apiculata) mendominasi pada tingkat semai, pancang, pohon pada hutan mangrove yang tidak terganggu.
5. INP tertinggi pada jenis Bakau (Rhizophora apiculata) yaitu 98,78 pada tingkat semai yang terdapat di hutan mangrove tidak terganggu sedangkan yang paling kecil pada jenis Tengar (Ceriops tagal) yaitu 29,46 pada tingkat pohon di hutan mangrove yang tidak terganggu. Dari sini dapat diketahui bagaimana komposisi hutan mangrove di kawasan tersebut.
Saran
Sebaiknya para praktikan lebih baik lagi di lapangan dan dalam analisis data praktikum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2008. Analisis Vegetasi Hutan Mangrove. http://Wikipedia.co.id/.
Ewusie,J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB. Bandung.
Irwan, Z.D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta.
Latifah, S. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. Jurusan Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Onrizal. 2008. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
---------. 2008. Teknik Survey Dan Analisis Data Sumberdaya Mangrove. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Suin, N.M. 2002. METODE EKOLOGI. Penerbit Universitas Andalas. Universitas Andalas. Padang.
Wirakusumah, S. 2003. Dasar - Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas. Penerbit Universitas Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Rabu, 01 Juni 2011
Langganan:
Komentar (Atom)
